Kamis, 16 Februari 2012

Sosialisme versus Kapitalisme


Sosialisme vs Kapitalisme 

 

Diskusi di BBM Group Tenaga Ahli Komisi 6 lintas Fraksi, 17 Mei 2011 adalah mengenai kapitalisme versus sosialisme. Diskusi diawali oleh posting dari MG yang mengutip kisah berunsur lelucon mengenai arti politik:

“Apa sih ‘Politik’ itu? ‎Seorang anak kecil bertanya pada ayahnya, "Ayah, dapatkah ayah jelaskan apakah politik itu?”
Ayah berkata, "Nak, aku akan menjelaskan seperti ini: Aku adalah pencari nafkah bagi keluarga, jadi sebutlah aku ‘Kapitalisme’. Ibumu, dia adalah pengatur keuangan, sehingga kita sebut dia ‘Pemerintah’. Kami di sini untuk memenuhi kebutuhanmu sehingga kau kita sebut ‘Rakyat’. Bibi pembantu kita anggap sebagai ‘Buruh’. Sekarang adikmu yang masih bayi, kita sebut dia ‘Masa Depan’. Sekarang pikirkanlah hal ini dan pertimbangkanlah apakah ini masuk akal bagimu. Anak tersebut masuk ke kamarnya dan memikirkan apa yang baru saja dikatakan ayahnya. Tengah malam, dia mendengar adiknya menangis, lalu dia bangun dan memeriksanya, dan dia menemukan adiknya basah kuyup dan kotor karena adiknya pipis dan buang air besar. Anak itu lantas pergi ke kamar orang tuanya dan, melihat ibunya sedang tidur nyenyak dan mendengkur. Dia tak ingin membangunkan ibunya, karenanya, ia pergi ke kamar pembantu. Pintunya terkunci, dan dia mengintip dari lubang kunci dan melihat ayahnya sedang bercinta dengan si pembantu.
Dia menyerah dan kembali ke kamarnya. Pagi berikutnya, anak kecil itu berkata pada ayahnya, "Kurasa sekarang aku mengerti apa itu politik."
Ayah menjawab, "Bagus Nak, ceritakan padaku pendapatmu tentang politik.".
Si anak segera menjawab, "Ketika Kapitalisme sedang memanfaatkan Buruh, Pemerintah tidur, Rakyat terabaikan dan Masa depan berada dalam kesulitan besar”.
BP berkomentar: “Itu negara hancur”.
MG: “Jadi bang BP udah paham kelakuan kapitalisme kan? Masih mau didukung juga?”
ST: “Memang pemerintahan sekarang tidak kapitalis?”
BP: “Keluarga saya keluarga sakinah tidak seperti itu. Bapak menafkahi keluarga, ibu menjaga keluarga, anak hidup bahagia, pembantu membantu keluarga.
MG: “Bagaimanapun juga penerapan liberalisme sangat menguntungkan para pemilik kapital”.
BP: “Bill Gates tadinya juga mahasiswa miskin yang DO, bukan dari lahir pemilik kapital. Omongan seperti itu adalah omongan manusia yang malas bersaing dan maunya hidup enak tanpa berusaha keras. Seperti tuan-tuan tanah di Jakarta akhirnya tersingkir karena tanahnya habis terjual dan tidak mampu bersaing. Contoh lagi: Kiichiro Toyoda (pendiri Toyota Motor Corporation) dilahirkan di dalam gubuk reyot karena ayahnya hanyalah tukang kayu miskin yang tergila-gila dengan ilmu pengetahuan.”

MG:  “Kalau keluarga sakinah itu pasti sedikit banyak mengadopsi sosialisme. Di mana dalam keluarga itu ada saling tolong menolong. Kakaknya yang lebih kuat membantu adiknya yang lebih lemah”.
BP: “Keluarga sakinah itu adalah keluarga yang mengerti, menghayati, dan menjalankan peranannya masing-masing dalam keluarga.
BP: “Bapak (kapitalisme) mencari nafkah dan menyetorkannya (pajak) ke ibu (pemerintah). Ibu menjaga Bapak supaya tidak keluar jalur (UU). Ibu juga memperlakukan Bapak dan anak-anaknya dengan adil dan konsekuen (UU dan Kepastian Hukum).  Anak-anak  yang berprestasi diberi reward, sedangkan anak-anak yang malas atau nakal dihukum. Siapapun boleh protes apabila merasa diperlakukan tidak adil dalam pertemuan keluarga (pengadilan). Itu sangat liberalis dan kapitalis (kebebasan berpendapat dan persaingan sesama anak untuk memperoleh yg terbaik).
MG: “Apakah dalam keluarga sakinah si kakak yang kuat misalnya tidak membantu adiknya yang lemah? Apakah orang cerdas seperti Bill Gates tidak bisa lahir di negara yang menganut/mengadopsi sosialisme. Lihat kemajuan teknologi cina saat ini.”
BP:  “Itulah gunanya CSR. Bill Gates sangat aware dengan hal tersebut. Cina pun sudah kapitalis di perkotaannya.”
ST: “Rame bener pagi-pagi”.
MG: Di keluarga yang menganut/mengadopsi sosialisme, keberhasilan memberdayakan si adik yg lemah merupakan tanggung jawab semua anggota keluarga”.
BP:  “MG, mending langganan koran kontan, bisa dilihat bahwa sebagian besar orang-orang terkaya di dunia berasal dari kaum proletar. Memberdayakan itu berarti menyediakan pancing, yang disebut dengan pendidikan dan perhatian. Pemerintah kapitalis menjamin pendidikan dan kesejahteraan rakyatnya seperti tunjangan untuk orang miskin yang ada di US.”
HS: “Kapitalisme adalah liberalisme ekonomi. Iran saja yang awalnya proteksionisme, subsidi besar-besaran di seluruh lini, kini menyadari bahwa liberalisme adalah suatu keharusan, Ahmadinejad perlahan-lahan meliberalkan ekonomi Iran, subsidi ditarik. Meskipun banyak yang menentangnya tetapi memang harus seperti itu.
Sosialisme dalam arti ideologi adalah gerakan kaum proletar melawan kaum borjuis yang menguasai sektor-sektor ekonomi tanpa keadilan. Proletar menuntut untuk disamakan. Sangat populis memang. Tetapi sosialisme tidak bisa menjawab pertanyan mengenai perbedaan kemampuan antara manusia. Bagaimana jika seseorang berusaha keras apakah ia harus disamakan dengan yang tidak? Sosialisme sudah berada di ujung senja. Soviet kurang bagaimana sosialis, tetapi terbenam juga.”
MG: “Dalam sosialisme adalah bukan sama rasa sama rata. Dalam negara sosialisme regulasi dibuat substansinya untuk melindungi si lemah. Soviet itu komunis bukan sosialis.”
HS: “Apa bedanya sosialisme dan komunisme? Jangan-jangan sosialisme yang Anda pahami berbeda dengan istilah baku di dunia keilmuan”.
MG: “Ini saya kasih contoh: misalnya ada lomba bagaimana secepat mungkin sampai di tujuan. Dengan garis start dan finish yang sama. Dalam liberalisme, pengguna sepeda (pemilik modal) dan yang tidak punya sepeda diberi kesempatan yang sama, yaitu sama-sama beranjak dari garis start dan finish yang sama. Dengan konsep ini bisa dipastikan yang menang adalah yang punya sepeda (pemilik modal). Namun dalam sosialisme, kalau ada keadaan seperti ini, maka yang tidak punya sepeda harus dibantu dengan diberi atau dipinjami sepeda. Agar mereka punya peluang yang sama dengan orang yang memiliki sepeda”.
HS: “Itu bukan sosialisme, melainkan keynesian (intervensionis), berbeda jauh. Dari contoh di atas, sosialisme justru memiliki faham yang punya sepeda harus sama dengan yang tidak punya. Sosialisme standarnya bukan yang tidak punya disamakan jadi punya, justru dari yang punya direduksi. Makanya sosialisme didefinisikan dengan kesamaan dalam produksi dan distribusi. Misal X berpenghasilan 1000 dan Y nothing, maka sosialis akan membuat yang atas menjadi turun. Equal X 500 Y 500, bukan Y diberi 1000.
Contoh di atas, orang yang tidak punya sepeda dijadikan agar sama mempunyai sepeda, memang harus seperti itu. Itulah fungsi negara, dan itulah yang diterapkan sekarang oleh pemerintah. Ada KUR, LPDB, dsb agar mereka punya sepeda jadi bisa start tidak tertinggal jauh. Ini tidak perlu faham sosialisme. Tapi kalau orang yang punya motor ya silahkan, masa mau disuruh pakai sepeda, yang punya mobil juga silahkan masa harus disuruh pake sepeda juga. jadi proporsionalisme. Jelas nanti finishnya juga beda. Minimal yang tadinya jalan bisa kencang dikit dengan adanya bantuan sepeda. Tetapi untuk disamakan jelas tidak bisa. Inilah inti dari negara demokrasi.”
ST: Bang HS cerdas...Yang jelas proporsional.

HS: Kan bang ST, BP, MG, dsb guru2 saya.

written : HS

Kebangkitan Nasional vs Kebangkrutan Nasional

Kebangkitan Nasional vs Kebangkrutan Nasional

Tanggal 20 Mei 2011 diperingati sebagai "Hari Kebangkitan Nasional" yang ke-103 yang merujuk pada perjuangan Boedi Oetomo tahun 1908. Bertepatan dengan hari nasional tersebut headline beberapa Koran Nasional memuat mengenai pernyataan tokoh lintas agama yang memberikan peringatan “Kalau kita tidak bangkit dari keterpurukan, bukan kebangkitan, melainkan kebangkrutan nasional yang akan mengancam kehidupan bangsa Indonesia” (Kompas, 20 Mei 2011).
Radio RRI Pro-3 juga melakukan diskusi di segmen “Indonesia Menyapa” pukul 08.00-09.00 dengan Buya Syafi’i Maarif, tokoh pemuda dan elemen pemerintah untuk memperingati hari tersebut. Buya Syafi’i Maarif merupakan wakil dari tokoh lintas agama yang ikut dalam pembacaan pernyataan di atas.
Ada statement menarik dari Buya, bahwa kita perlu me-reengeneering Indonesia (merekayasa ulang Indonesia). Karena belum ada kesadaran kolektif yang otentik dari elemen-elemen bangsa ini untuk secara bersama-sama bangkit.
Fokus di situ: kesadaran kolektif. Kenapa ini menarik? Kita ambil beberapa contoh. Jepang, macan Asia berhasil mengalahkan dominasi Amerika di sektor ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Jepang berhasil karena ada kesadaran kolektif, lebih tepatnya memiliki “rasa sakit hati” nasional sejak Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh sekutu tahun 1945. Hanya butuh waktu 35 tahun untuk Jepang bangkit. Pada tahun 1980 Jepang telah bangkit dan menguasai sektor-sektor penting ekonomi dunia. Kebangkitan Jepang dikenal dengan “Restorasi Meiji”, yang diambil dari nama Kaisar Jepang saat itu yaitu “Kaisar Meiji”, yang melakukan usaha besar untuk menjadikan Masyarakat Jepang bukan menjadi Negara yang terisolasi dari keterpurukan pasca Bom Atom tersebut. Langkah yang ditempuh Jepang adalah pendekatan kultural yang disebut dengan semangat “Bushido”, yaitu sikap rela mati untuk kemajuan Negara Jepang dan untuk pemimpin tertinggi mereka. Pendekatan kultural lainnya adalah kultur budaya kerja keras. Penduduk Jepang sangat aib jika bangun kesiangan. Sektor ekonomi digerakkan oleh kelas menengah yang terkenal pantang menyerah. Jepang juga fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang riset.
Amerika dan Eropa sebagai negara maju dan menjadi pusat peradaban dunia di bidang ilmu pengetahuan saat ini juga dapat dijadikan contoh. Predikat tersebut tidak diperoleh begitu saja, akan tetapi mengalami sejarah panjang. Pergulatan historis dalam menumbuhkan nilai-nilai kultural pada masyarakatnya, terutama penekanan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dibela mati-matian meskipun harus berhadapan dengan dominasi gereja. Cofernicus berani dihukum mati oleh pihak gereja hanya untuk mempertahankan temuannya di bidang sains.
Iran, negara Islam dengan mengadopsi sistem demokrasi Barat, adalah contoh lainnya. Iran yang sekarang tumbuh pesat di bidang ilmu pengetahuan, juga tumbuh dari budaya kultural. Ia mewarisi budaya Persia yang sudah sejak lama mencintai ilmu pengetahuan. Filsafat—sebagai bapaknya Ilmu Pengetahuan—nyaris mati di dunia Islam lain, tetapi tidak di Iran. Kunci lainnya adalah adanya “musuh bersama nasional” yaitu Amerika. Iran cerdik dalam menumbuhkan siapa musuh yang harus mereka lawan. Amerika dijadikan musuh bersama dan ditekankan kepada setiap generasi. Sehingga meskipun Iran diembargo tetapi tidak berdampak apapun pada sektor ekonomi. Iran malah tumbuh pesat di bidang ilmu pengetahuan, mereka termasuk salah satu negara yang menguasai teknologi nano, teknologi nuklir, mampu membuat mobil sendiri, dan banyak lagi. Embargo dari Amerika dijadikan sebagai modal awal untuk bangkit, karena mereka menemukan momentum kesadaran kolektif untuk bangkit.
Indonesia, sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah harus menata ulang pranata-pranata sosial jika ingin bangkit dan tidak menuju “kebangkrutan nasional”. Harus ada “musuh bersama” sehingga dapat dijadikan momentum kesadaran kolektif seluruh elemen bangsa. Apa yang harus dijadikan musuh bersama oleh bangsa kita? Tidak mungkin Amerika, karena negara ini bersifat terbuka. Tidak mungkin negara lain dijadikan musuh. Musuh bersama sejati negara kita adalah “Kebodohan”. Para pendiri bangsa ini sudah sangat tepat dalam merumuskan sistem negara. Demokrasi adalah pilihan tepat. Tetapi tidak didukung oleh sumber daya manusia yang tepat. Semangat untuk mencerdaskan bangsa juga sudah tercantum dalam undang-undang. Kebodohan tidak hanya diukur oleh tingkat pendidikan. Negara telah tepat mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan 20% dari total anggaran APBN. Total APBN kita berada di angka 1200 Trilyun. Jika dua puluh persennya digunakan secara tepat maka harapan untuk bangkit adalah besar. Tetapi apa kenyataannya, daya serap dari program-program Kementerian Pendidikan sebagai lembaga eksekutor APBN tersebut sangat rendah. Anggaran tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Kementerian Pendidikan kebingungan dalam mengelola anggaran yang begitu besar (bukan artinya mereka bodoh, tetapi juga bukan artinya mereka cerdas karena jika cerdas tentu anggaran sebesar itu dapat dijadikan modal bagi kebangkitan bangsa).
Kultur bangsa kita perlu ditingkatkan ke arah penguasaan ilmu pengetahuan. Jangan pernah bermimpi untuk bisa bangkit jika tidak menguasai ilmu pengetahuan. Lihat saja misalnya berbagai ketidaktepatan pengambil kebijakan. Presiden sesungguhnya telah tepat dalam merumuskan garis-garis kebijakan. Anggaran pendidikan dibesarkan, pajak diminta ditinjau ulang, infrastuktur diinstruksikan untuk ditingkatkan. Hanya saja tidak didukung oleh eksekutor yang cerdas.
Subsidi salah tempat. Subsidi diberikan untuk konsumsi. BBM konsumsi disubsidi besar-besaran, tetapi tidak untuk BBM Industri. Seharusnya subsidi diperuntukkan untuk bidang produksi yang akan meningkatkan nilai tambah ekonomis. Pajak impor barang konsumsi menjadi nol, tetapi tidak untuk barang produksi. Beberapa barang produksi malah dikenakan pajak berlipat. Lantas kita mau bicara kebangkitan nasional? Subsidilah seluruh buku agar rakyat mampu membaca dengan murah. Subsidilah barang untuk produksi bukan untuk barang konsumsi.
Ketika para eksekutor kebijakan telah memahami makna dari kebangkitan dari kebodohan-kebodohan kita, maka ada harapan bangsa ini tidak mengalami kebangkrutan di masa depan.**written [hs]

Kamis, 02 Februari 2012

Dilema petani sawah

Kebijakan pemerintah dalam swasembada pangan tidak didukung dengan keberpihakkan mereka kepada petani miskin di indonesia,petani sering menghadapi kendala tidak hanya dalam hal teknis tetapi juga dalam hal non teknis.
Dalam hal teknis misalnya, petani harus berjudi dengan waktu tat kala mereka menanam padi, jagung kacang2an dll karna iklim yang sudah tak menentu membuat mereka sering merugi karna mengalami gagal panen, terlebih lagi banyak hama yang menyerang tanaman mereka..
Dalam hal non teknis, adapun kalau petani panen acap kali harga anjlok apa lagi bnyak tengkulak yang bermain membuat mereka tak berkutik mau tak mau petani harus menjual hasil panen mereka dengan harga murah karna untuk mengembalikan modal yang sudah dipinjam.
jika kondisi ini terus berlangsung bukan tidak mungkin petani akan beralih tanam menginggat komoditi perkebunan sperti sawit,karet,kakao,singkong dll sangat menjanjikan ketimbang tanaman sawah/ladang.
kalau sudah begini,apakah swasembada pangan akan terwujud??
petani sawah (padi,jagung dll) belum punya posisi tawar mereka khusus nya di kalangan pengepul/ tengkulak sehingga mereka mudah untuk memainkan harga sesuka mereka.
ironis nya, dinas terkait seperti dinas pertanian seolah tidak punya fungsi untuk solusi terkait problema ini.
pemerintah harus segera menyikapi kondisi ini mennginggat masih banyak petani yang masih bertahan untuk menanam padi,jagung..jika kondisi ini terus dibiarkan bukan tidak mungkin petani akan meninggalkan tanaman sawah dan lebih memilih tanaman komoditi ekspor karna lebih menjanjikan.